Diktator Kecil Bernama Di Matteo
15.41 |
Tampil di planet bola sebagai pelatih sementara Chelsea, justru menajamkan taring kekuasaannya dengan tidak lekas-lekas berkompromi setelah menyaksikan ulah pemain "mbalelo" di kamar ganti.
Kekompakan dan kebersamaan tim adalah segalanya, kata Roberto "diktator" Di Matteo di atas podium kekuasaan kerajaan Stamford Bridge.
Jadilah, Di Matteo kini menyandang predikat sebagai "The Little Dictator". Dan terpicu dendam kesumat yang menggerayangi kompetisi bermerk Liga Champions, Di Matteo justru menunjukkan keramahan, kecintaan serta keteguhan hati ketika meladeni tim digdaya sedunia Barcelona.
Tidak ingin terkesan sebagai pemimpin melempem yang doyan tebar pesona dengan berkoar-koar soal program indah di atas kertas, justru pelatih asal Italia itu membuka praktek sebagai diktator di tengah pemberontakan sejumlah pemain senior The Blues. Tidak ada tempat bagi para pemain senior yang doyan bernostalgia dan bercumbu dengan "kejayaan dan kekuasaan masa lampau".
Alasannya, skuad asuhan Di Matteo kerap disebut oleh sejumlah pengamat sebagai "pasukan tua". Betapa tidak, pemain asal Pantai Gading Drogba kini berusia 34 tahun, John Terry asal Inggris (31 tahun), Lampard asal Inggris (33 tahun).
Kenyataannya, Chelsea tampil heroik di laga semifinal dan melenggang ke final Liga Champions setelah mengalahkan tim terbaik dunia Barcelona.
Kenyataannya, pasukan di bawah komando Di Matteo yang nota bene berjuluk diktator hanya mengalami sekali kekalahan dalam 13 laga. Sang diktator menangani Chelsea sepeninggal pemecatan pelatih Andre Villas-Boas (AVB) dari Stamford Bridge pada Maret lalu.
Mantan pelatih West Brom itu disebut-sebut sebagai otak dari strategi bertahan bahkan dicap sebagai strategi "semi-bis parkir" ketika Chelsea mengalahkan Barcelona 1-0 di pertandingan pertama semifinal Liga Champions.
Strategi setali tiga uang terulang ketika The Blues menahan imbang 2-2 pasukan Pep Guardiola di pertandingan kedua semifinal Liga Champions yang digelar di kandang Barcelona.
Strategi hasil racikan Di Matteo terbukti ampuh menghadapi dominasi penguasaan bola Barcelona. Di Matteo membangun timnya secara apik, hanya saja ia cenderung menutup mata dengan perilaku tidak terpuji John Terry dalam laga di Nou Camp.
Inikah wajah diktator bernama Di Matteo ketika menjalankan roda kekuasaan di Chelsea? Menurut filsuf Hannah Arendt, kekuasaan adalah perwujudan sebuah tindakan bebas yang dilakukan bersama-sama dalam sebuah komunitas dengan mengandalkan keragaman. Tindakan sebagai ekspresi kebebasan harus bersih dari segala rekayasa apa pun.
Di Matteo memberi seluas-luasnya ruang gerak kepada setiap pemain. Ia memahami kemudian memadukan kekuatan dari keragaman pemain muda dan pemain tua.
Ia meminta komitmen seluruh pemain agar tidak begitu saja terbakar oleh rekayasa dendam masa lampau. Di sirkuit kekuasaan, masa lampau punya adalah masa lampau, kata diktator bernama Di Matteo.
Penyerang Chelsea, Didier Drogba, mengungkapkan, timnya belajar dari pengalaman pahit semifinal 2009. Menurut pemain asal Pantai Gading itu, pengalaman itu justru memotivasi dirinya dan rekan-rekannya mendulang sukses menekuk Barcelona 1-0 pada pertandingan pertama semifinal Liga Champions, Rabu (18/4).
Di rel kekuasaan jagat bola, pasukan Chelsea dijegal Barca pada semifinal 2008-09. The Blues ujung-ujungnya tersingkir setelah ditahan imbang 1-1 oleh Barca pada pertandingan kedua. Barca berhak melaju ke babak final karena pada pertama pertama di Camp Nou, kedua kubu sama-sama gagal mencetak gol.
Chelsea membayar secara tunai. Gol semata wayang Drogba pada menit ke-49 membuat Barca pulang dengan ratapan. "Aku pikir, kami belajar dan lebih berkembang dari tiga tahun tahun lalu. Kami bahagia dengan hasil ini," kata Drogba.
Ekspresi kebebasan kerapkali melahirkan unsur kejutan (unpredictability) karena terbuka ruang seluas-luasnya. Langgam ini justru dilakoni oleh Di Matteo yang nota bene berjuluk diktator meski ia menolak mentah-mentah jalan kekerasan. Korban dari unsur kejutan kali ini justru raksasa sepak bola Spanyol.
Di satu pihak, Di Matteo dicap sebagai pelatih yang berlaku sebagai diktator; di lain pihak, Di Matteo memahami bahwa praktek kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan - sebagai pelatih- sungguh tidak dapat dibenarkan.
Rumusnya, kekerasan melahirkan pemberangusan ruang publik manusia. Tidak ada teror di ruang ganti Chelsea, kata Di Matteo. Situasinya berbeda ketika AVB menangani Chelsea. Situasi kamar ganti The Blues kerapkali membara lantaran terjadi teror mulut antara AVB dengan sejumlah pemain yang "mbalelo".
Ketika Di Matteo membaca teks berjudul kekuasaan, maka kekuasaan pertama-tama bertujuan mengembalikan komitmen. Komitmen kepada kebesaran dan kehormatan nama besar Chelsea. Ini yang dihembus-hembuskan oleh pelatih asal Italia itu.
Akankah Chelsea mampu menjuarai Liga Champions? Jangan cepat-cepat berpatokan hanya dari hasil laga pertandingan kedua semifinal Liga Champions di Nou Camp lalu. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa bara semangat laga di Nou Camp itu akan membakar dan mengobarkan daya juang skuad asuhan Di Matteo di final Liga Champions nanti.
Di Matteo memang sedikit terkendala dengan beberapa pemain yang masih dibekap cedera atau terkena hukuman larangan bertanding. Kekurangan ini dapat ditutup dengan kualitas kebersamaan Chelsea yang dari hari ke hari kian berkembang pesat di bawah polesan Di Matteo.
"The Little Dictator" Di Matteo menyuntikkan kepercayaan diri kepada seluruh pemain asuhannya setelah Chelsea mengalami gunjang-ganjing dua bulan lalu. Semua ini terjadi justru berkat penampilan sang diktator bernama Di Matteo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar